ZMedia Purwodadi

Kisah Gito Rollies Sang Vokalis The Rollies

Table of Contents

 
Gito Rollies
Bangun Sugito/Gito Rollies

KISAH GITO ROLLIES

Pada dekade 70-an, Indonesia pernah memiliki seorang penyanyi rock terkenal dengan suara khasnya serak-serak basah seperti The Godfather of Soul nya Amerika Serikat, James Brown. Ia lahir dengan nama Bangun Sugito Tukiman, 1 November 1947 di Kota Biak, Irian Jaya, tepat hari ini 74 tahun yang lalu. 

Meski lahir di timur,  tak lantas membuat ia hidup di daerah timur. Kebalikannya, Ia justru tumbuh dan besar di Kota Kembang, Bandung. Menikmati masa muda dengan penuh dengan hal-hal gila di Kota berjuluk Paris Van Java, sebelum akhirnya memutuskan hijrah ke Jakarta pada tahun 1975.

Bangun Sugito Tukiman atau Gito Rollies merupakan vokalis grup musik The Rollies, sebuah band asal Bandung yang eksis pada tahun 1960 hingga akhir 1990-an. Grup bentukan Deddy Stanzah itu meminta Gito bergabung tujuh tahun setelah The Rollies terbentuk di tahun 1960. 

Tengku Zulian Iskandar, gitaris The Rollies melihat Gito saat itu sebagai seorang penyanyi pop yang sopan. Ia memiliki tubuh atletis dan berambut kribo seperti Ahmad Albar, God Bless. Menjadikan ia memiliki pesona tersendiri sebagai seorang vokalis dan sejak itu panggilan Gito Rollies melekat pada dirinya. 

Bergabungnya Gito ke The Rollies membawa dampak yang cukup besar, khususnya dalam warna musik yang diusung The Rollies. Pada masa-masa awal The Rollies berdiri, tahun 1960-an, seiring terbawa era British Invasion, mereka membawakan lagu-lagu luar negeri seperti The Beatles, Bee Gees, The Rolling Stones.

The Rollies Sampul Majalah Aktuil
The Rollies Sampul Majalah Aktuil
 

BANGUN SUGITO ke GITO ROLLIES

Kemudian saat Gito bergabung pada tahun 1967, mereka juga membawakan lagu-lagu Tom Jones, Engelbert Humperdink, dan sejenisnya.  Setelah itu, dirasa cocok dengan gaya suara serak-serak basahnya, Gito membawakan lagu-lagu James Brown, dan nyatanya  cocok. 

Di penghujung era 60-an, pemusik jazz Benny Likumahuwa, bergabung dengan The Rollies. Benny yang lihai memainkan bass, drum, flute, trombone dan saxophone lagi-lagi membuat warna musik The Rollies bergeser. Usul Benny yang ingin memasukkan instrumen musik tiup ke dalam musik The Rollies disepakati oleh semua personil. Perubahan itu membuat musik The Rollies yang soul and funk, semakin dekat dengan irama Blood, Sweet and Tearse yang kemudian jadi inspirasi mereka. 

Gito juga mulai belajar meniup terompet, sembari menjadi vokalis. Tapi setelah dirasa agak susah untuk mengatur pernapasan dan suaranya, ia lalu memutuskan untuk fokus saja menjadi vokalis. 

Berkat instrumen nya yang kian berwarna, sejak tahun 1968 The Rollies bolak-balik dapat langganan manggung di Singapura dan Thailand, sempat juga menjadi pengiring musik penyanyi Aida Mustafa, Anna Mathovani dan Fenty Effendi.

Memasuki dekade 70an, The Rollies kembali ke tanah air. Saetibanya mereka mau tidak mau diminta untuk tunduk pada warna musik Koes Plus, Panbers, The Mercy's, Favorite's Group, hingga D'Lloyd yang sedang merajai industri musik kala itu. 

Tahun 1975, Bandung yang saat itu menjadi barometer musik perlahan mulai redup. Si Kota Kembang itu mulai layu dalam hal industri musik, hal itulah yang kemudian menjadikan Gito memutuskan untuk hijrah ke Jakarta. 

Ramy Salado, seniman dan penulis sahabat Gito mencatat, bahwa saat itu di Bandung konser musik tak lagi bisa menghasilkan uang. Kalaupun ada konser, honor nya hanya sebatas ucapan terimakasih dari panitia penyelenggara. 

Sebagai sahabat dekat Gito, Remy sedikit banyak tau tentang bagaimana kehidupan Gito dimasa mudanya yang penuh dengan hal-hal gila. Salah satunya adalah ketika Gito pernah ditantang untuk naik motor dengan telanjang pada malam hari dari Jalan Braga ke Lembang. Meski tahu bahwa hal itu akan sulit dilakukan, karena Bandung malam hari tahun 1970-an identik dengan udara dingin yang membuat banyak orang menggigil, Gito tetap menyanggupinya. 

Sosok Gito bagi Remy tak hanya sekedar teman, ia terang-terangan menyebut bahwa Gito merupakan sumber inspirasinya, khususnya ketika ia menulis naskah drama Orexas. (Organisasi Sex Bebas). Naskah itu kata Remy terinspirasi dari gaya keyentrikan Gito. 

Gito Rollies Hijrah
Album Religi Gito Rollies

 

HIJRAH GITO ROLLIES

Titik balik kehidupan Gito berubah drastis ketika memasuki usia 50 tahun. Ia yang awalnya sangat akrab dengan narkoba, pelan-pelan mulai meninggalkannya. Gito lalu mulai mendalami agama, ikuti rutin dalam pengajian hingga sampai mengisi pengajian. 

Pendek kata Gito Rollies sudah Hijrah, tapi ia tak lantas mengharamkan musik yang pernah membesarkan namanya itu. Ia berdamai dengan dirinya sendiri. Berdamai melalui agama.

Ia masih tetap bernyanyi dan bermain film. Salah satu perannya yang paling ikonik adalah ketika menjadi pedagang buku di Kwitang, beradu akting dengan Cinta dan Rangga dalam film Ada Apa Dengan Cinta.