ZMedia Purwodadi

Mendung Tanpo Udan dan Liriknya yang Tak Relevan

Table of Contents

Dalam dunia seni ada sebuah kalam yang masyhur seperti ini. Jika suatu karya seni sudah diterbitkan maka saat itu penulis atau pengarangnya sudah mati. The Death Of Author (Pengarang Telah Mati), begitu kira-kira Roland Barthes mengatakannya pada tahun 1968.

Gagasan itu seolah sedang menempatkan pembaca sebagai subjek, bukan lagi objek. Ia bebas mengekspresikan segala sesuatu yang dibacanya, bebas menafsirkannya dan bebas memberi makna atas teks yang sedang dibaca. Teks, dalam hal itu bukan lagi menjadi benda mati, ia akan hidup dalam pikiran pembaca nya.

Sudah lah, saya tidak akan membahas hal itu. Terlalu berat bagi saya dan memang di blog ini bukan tempat untuk membahas hal-hal yang berat, kita cerita hal-hal biasa saja. Hal-hal yang sering luput dari perhatian kita, tapi justru sangat penting untuk di bahas (menurut saya).

Begini, beberapa hari terakhir ada sebuah lagu yang viral berjudul Mendung Tanpo Udan (Mendung Tanpa Hujan) lagu berbahasa jawa yang kental dengan nuansa dangdut koplo itu dinyanyikan oleh Ndraboy Genk. Tak butuh waktu lama, meski baru mendung dan belum sempat hujan apa lagi banjir, lagu itu langsung menempati tranding di YouTube.

Penulis dan pencipta asli mendung tanpo udan Kukuh Prasetya Kudamai dalam sebuah sesi wawancara menceritakan kisah tercipta nya lagu tersebut adalah semacam bentuk furstasi ketika sedang menghadapi pandemi pada tahun 2020 di jantung kota jakarta. Saat itu ia sedang ngangur karena project film nya sudah selesai, tapi ia tak bisa ke mana-mana karena virus corona menghadang nya. Dalam ke-frustasi-an itulah, lagu mendung tanpo udan tercipta.

Sebagai lagu yang diciptakan pada tahun 2020, lirik mendung tanpo udan terdengar sangat tidak relevan, khususnya pada bait kedua yang terkesan sangat dipaksakan demi sebuah keserasian. Meski pun tak bisa di pungkiri menjadi sangat enak didengar tapi secara makna sungguh tidak relevan.

Awak dewe tau duwe bayangan
Besok yen wes wayah omah-omahan
Aku moco koran sarungan
Kowe belonjo dasteran

Kita pernah punya impian
Kelak jika telah berumah tangga
Aku membaca koran
Engkau belanja pakai daster


Nun jauh entah beberapa tahun ke depan sejak tahun lagu itu diciptakan, ada seorang bapak-bapak di pagi hari yang dingin sedang duduk di teras rumah, menikmati secangkir kopi sambil membaca sebuah koran. Pada sebuah kolom ramalan cuca, tercatat bahwa cuaca di sepanjang jalan kenangan hari ini akan diliputi awan mendung tanpa hujan.

Jika kita melihat realitas hari ini, banyak sekali media masa yang menghentikan versi cetak nya karena tak kuasa melawan media daring atau online yang kian merajalela. Orang-orang menyebutnya bahwa hari ini media cetak sedang mengalami masa senja nya, sebelum nanti benar-benar terbenam. 

Data terkait senjakala media cetak bisa anda baca sendiri disini.

Mari kita mendengarkan lagu mendung tanpo udan dengan khusyu sembari bertanya, masih adakah media cetak yang tetap terbit pada tahun-tahun mendatang?