ZMedia Purwodadi

Harlah ke-93 Tahun NU : Menyongsong Revolusi Industri 5.0

Table of Contents


Awal dekade 1926, digelar sebuah rapat akbar antar ormas Islam dan alim ulama di Ciganjur, Jawa Barat. Rapat itu dilakukan untuk membahas kondisi sosial politik negara timur tengah yang sedang bergejolak karena pengaruh gerakan Islam puritan (Wahabi).

Raja Ibnu Sa'ud, dengan kebijakannya meratakan seluruh makam di sekeliling Ka'bah telah membuat gelisah ulamah-ulama Nusantara. Kiai Wahab Chasbulloh dalam rapat itu mengusulkan untuk mengirimkan utusan menghadap Raja Sa'ud untuk menjelaskan kondisi sosial dan praktik keagamaan di Nusantara.

Usulan tersebut ditolak mentah-mentah oleh golongan Islam pembaharu, seperti Al Irsyad dan Muhamadiyah. Dari penolakan tersebut kemudian merasa bahawa mereka harus bergerak sendiri,ll untuk menemui Raja Sa'ud untuk memperjuangkan kepentingan mereka.

Maka, pada 31 Januari 1926, dikutip dari K.H. Abdul Wahab Hasbullah: Bapak dan Pendiri NU (1972) karya Saifuddin Zuhri, para kiai dari golongan tradisionalis  berkumpul di kediaman Kiai Wahab Chasbulloh dan memutuskan membentuk suatu organisasi kemasyarakatan Islam berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah yang kelak dinamakan sebagai Nahdlatul Ulama atau “kebangkitan para ulama”.

Tanggal 31 Januari 1926 atau hari ini 93 Tahun yang lalu itu kemudian ditetapkan sebagai hari lahir Nahdlatul Ulama (NU).

Jauh sebelum itu, upaya membentuk suatu perkumpulan atau organisasi sebenarnya telah dilakukan oleh Kiai Wahab dan KH Mas Mansyur seperti dikutip dari Ahmad Zahro dalam buku Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999 (2004).Kiai Wahab telah mendirikan Nahdlatul Wathan yang artinya “kebangkitan tanah air” pada tahun 1914. Nahdlatul Wathan, menurut Martin van Brulnessen dalam bukunya  yang berjudul NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994) menyebut bahwa, Nahdlatul Wathan merupakan lembaga pendidikan agama bercorak nasionalis moderat pertama di Nusantara. 

Sukses mendirikan Nahdlatul Wathan, sebagai pusat pendidikan Islam. Tahun 1918, Kiai Wahab mendirikan perkumpulan lagi, dikutip dari buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU (1985) karya Choirul Anam, organisasi itu bernama Nahdlatul Tujjar atau “kebangkitan para pedagang”. 

Tak berselang lama kemudian, di Surabaya berdiri suatu majlis Batsul Masail atau diskusi bernama Tasfirul Afkar. Sebuah madrasah yang didirikan sebagai tempat mengaji bagi anak anak muda yang diharapkan kelak mampu menjadi pelesatari ajaran Islam di Nusantara.

NU : Tradisionalis yang Modernis

NU dikenal sebagai organisasi Islam tradisional, dalam artian bahwa sebagaian besar anggotanya adalah orang-orang Desa, para petani, dan kiai kampung. Hal itu memang benar, karena Basis NU terbesar adalah di pelosok Desa-Desa dan di kampung-kampung.

Maka wajar, jika NU kantal dengan budaya dan adat istiadat masyarakat Indonesia. Misalnya, tahlilan, slametan, ziarah kubur dan ritual-ritual kebudayaan lainya yang telah diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam dengan tanpa menghilangkan nilai dari budaya itu sendiri.

Memelihara budaya lama yang baik, dan mengambil budaya baru yang lebih baik adalah semboyan yang melekat di NU, menjadi spirit untuk tetap nguri-uri kebudayaan Nusantara yang dimodifikasi dengan tambahan dengan spirit ke Islaman ala Ahlusunah Wal Jama'ah An Nahdilyah.

Dengan pedoman seperti itulah, maka tak sulit bagi masyarakat pedesaan untuk menerima NU di kehidupan sehari-harinya, bahkan semakin  memperkuat struktur sosial yang terbangun di lingkungan masyarakat.

Namun meski NU berbasis tradisionalis, tapi NU juga memiliki semangat modernitas yang tinggi. Dalam arti semangat untuk membangun peradaban kemanusiaan yang maju dan berkembang, tak ketinggalan zaman.

Hal itu dibuktikan dengan banyaknya berdiri perguruan tinggi NU diberbagai wilayah di Indonesia, dengan berbagai macam fakultas dan disiplin ilmu yang diajarkan, sebagai bekal untuk mewujudkan peradaban yang maju di semua aspek kehidupan masyarakat.

NU Menyongsong Revolusi Industri 5.0

Dalam acara peringatan ke 93 NU yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC) Jumat, 31 Januari 2019 kemarin, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj mengatakan, dalam menyongsong satu abad NU. NU memiliki tantangan tak mudah terutama dalam menghadapi era revolusi industri.

Hubbul Wathan Minal Iman (cinta tanah air bagian dari iman) bukan sekadar jargon semata bagi warga NU, tapi juga sebagai pegangan untuk menghadapi revolusi industri five point zero (5.0) yang dituntut untuk memenuhi kekosongan kehidupan sosial, hubungan antarumat manusia, antarmanusia dan Tuhan serta humanity center.

Dalam menghadapi revolusi industri 5.0 di mana sebelum orang-orang memasuki era tersebut, NU telah mempersiapkannya, bahkan mengisinya.
Untuk itu, nasionalisme serta budaya spiritualitas yang dimiliki oleh masyarkat NU akan menjadi bekal dalam menyongsong revolusi industri 5.0 mendatang.


*Diolah dari berbagai sumber.